Antologi Puisi Imam
Ma’arif
Memukau Tapi Bisa
Menyesatkan
Nekad? Boleh jadi
demikian. Atau barangkali kebingungan seorang penulis puisi. Ya, pertanyaan ini
muncul ketika untuk kali yang pertama saya mendapat buku antologi puisi – karya
penyair Imam Ma’arif. Betapa tidak, antologi puisi ini berisi puluhan puisi
namun tak satu pun yang diberi judul. Bahkan sekedar judul angka, misalnya, tak
ada sama sekali. Ini artinya untuk bisa membaca sebuah puisinya pun kita hanya
dipandu dengan halaman. Puisi yang terdapat di halaman sekian, umpamanya.
Namun, hal yang demikian
tidaklah sesederhana itu. Betapa tidak, ketika saya membaca epilog yang ditulis
oleh Maman S. Mahayana yang mengulas puisi-puisi dalam buku ini. hanya ada satu
yang cocok halamannya. Yakni yang membahas puisi pada halaman 2. Yang lainnya?
Tak ada yang tepat. Misalnya disebutkan pada puisi halaman 15 (tetapi setelah
dicermati ternyata puisi yang dimaksud ada pada halaman 16). Demikian pula
dalam mengulas puisi pada halaman 46, namun disebutkan pada halaman 44. Lalu
dikatakan puisi yang terdapat pada halaman 3 atau 43. Nyatanya puisi itu tak ada
di halaman tersebut melainkan terdapat pada halaman 45.
Mengapa Imam Ma’arif tidak
memberi judul pada setiap puisi yang ada di buku ini? Ia beralasan bahwa
peniadaan judul akan memberi peluang imajinasi dan peluang tafsir yang lebih
luas kepada pembaca.
Agaknya penyair ini lupa
bahwa setiap puisi yang sudah menjadi “milik” publik masih tetap memberi
peluang multi tafsir dan memberi peluang imajinasi kepada pembaca. Sebuah puisi, kendati ada
judulnya, tetap mendapat peluang yang sama – peluang imajinasi juga peluang
tafsir – dari pembacanya. Malahan jika sebuah puisi yang berjudul akan lebih
mendapatkan kesempatan untuk didiskusikan. Kenapa demikian? Karena pembaca
sudah digiring untuk membicarakan puisi yang berjudul “anu” karya penyair
fulan, misalnya.
Sebab, diakui atau tidak,
sebuah judul puisi – apalagi judul yang pendek dan tidak khas – bisa digunakan oleh beberapa penyair.
Sebutlah misalnya, judul puisi “Cinta”, bisa ditulis oleh tidak cuma satu dua
orang penyair. Nah, dengan adanya judul dan (tentu saja) nama sang penyair
sebuah puisi akan lebih berkemungkinan didiskusikan oleh publik pembacanya.
Dan, masih memberi kemungkinan, menjadi multi tafsir.
Dalam kata pengantarnya, Imam Ma’arif memberikan tekanan “puisi
hendaknya dibiarkan bebas tanpa judul dan terbuka seperti hutan belantara.
Sehingga keliaran dan misteri keindahannya menjadi tantangan sendiri untuk
dijelajah.”
Sayang, menurut saya pengibaratan semacam ini kurang tepat. Sebab yang
namanya
hutan belantara pun tetap punya judul (baca: nama). Benar, memang. Hutan
belantara punya misteri keindahan dan tantangan untuk dijelajah. Namun, bukan
berarti hutan belantara itu tanpa ada nama. Bukankah tantangan setiap misteri
yang terdapat dalam hutan belantara yang satu dengan yang lain akan berbeda.
Artinya jika ada yang hendak dijadikan pembicaraan maka nama hutan pun akan
tetap disebutkan. Jika tidak, maka akan terjadi penyesatan. Misalnya, jika
disebutkan sebuah hutan belantara yang masih terdapat banyak gajah. Tak mungkin
ia adalah hutan belantara yang ada di pulau Jawa. Hutan belantara yang masih
dihuni bekantan, dapat dipastikan, ada di Kalimantan. Burung Mambruk, hanya
akan ditemukan di hutan papua.
Nah, jika puisi tanpa judul (apalagi dalam sebuah
antologi) akan terlalu sulit untuk dibahas dalam sebuah forum diskusi Ini hanya
salah satu contoh – masalah hewan yang ada di hutan belantara pun – akan sulit
untuk dibahas jika tak jelas keberadaan ‘nama’ (atau lokasi) hutan belantara
tersebut. Jika tidak, maka pembahasan tentang sebuah
hutan belantara hanya akan jadi ‘debat kusir’ belaka. Apalagi untuk sebuah puisi yang terdapat dalam sebuah
buku antologi puisi. Ini yang membuat saya (juga mungkin pembaca lain) bingung
membahasnya. Belum lagi jika puisi
tersebut hanya membuat satu kata. Suara, misalnya, pada halaman 41 dalam
buku ini.puisi dengan titimangsa, Jakarta Agustus 2022.
Boleh jadi sebuah puisi hanya dengan satu kalimat.
Tetapi, bila berjudul akan menjadi lain tafsirannya. Sebutlah puisi Sutardji
yang berjudul LUKA, yang terdiri dari dua suku kata ha…ha… atau Malam Lebaran
yang ditulis Sitor Situmorang yang terdiri dari satu kalimat pendek “bulan di
atas kuburan”.
Ada hal lain yang cukup membuat kita “sulit” memahami
puisi-puisi di buku Imam Ma’arif ini. Bagaimana memahami apakah puisi sudah
‘tuntas’ dengan ditandai titimangsa atau tidak. sebab jika ditandai dengan
titimangsa berarti puisi pada halaman 17 merupakan lanjutan dari puisi halaman
16. Tapi isinya kok tidak ‘nyambung’ dan kenapa puisi pada halaman 16, tidak
ada titimangsanya. Ini hanya salah satu misal.
***
Apabila Sutarji Calzoum Bachri ingin membebaskan
kata dalam pengertian ide atau beban makna yang telah disepakati masyarakat
umum. “Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide.
Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.Dalam puisi saya, saya
bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka. Seperti kamus
dan penjajahan-penjajahan seperti moral. Kata yang dibebankan masyarakat pada
kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscence) serta penjajahan
gramatika,” demikian SCB dalam kredo puisinya.
Maka Imam Ma’arif dalam buku ini ingin membebaskan
judul pada semua puisinya. Ia beranggapan judul hanyalah sebagai penjara
imajinasi, mempersempit imajinasi, bentuk dikte terhadap pembaca, judul juga
bisa menjadi tebing penghalang berbagai pemandangan makna, sehingga pembaca
sulit melihat makna lain yang berkelindan dalam rimba puisi.
Tentu saja, tulisan ini tidak ingin membandingkan
kedua alasan yang disampaikan masing-masing penyair. Jika memang Imam Ma’arif
akan berprinsip bahwa ia tak akan mendikte pembaca dengan sebuah judul pada
puisi. Tentu saja, ia punya hak melakukannya. Hanya saja, yang ingin
digarisbawahi di sini adalah ‘mampukah Imam Ma’arif tetap konsisten dengan
prinsipnya’ (baca: tetap menulis puisi tanpa judul). Jika tidak, maka bisa jadi
puisi-puisi yang dituliskan akan ‘menyesatkan’ pembaca.
Itulah sebabnya, barangkali Maman S. Mahayana,
dalam dalam kata terakhir epilognya menulis “majulah … terus laju. Jangan
pernah terbersit sedikit pun pikiran sesat: “Mundur terus pantang maju!” Yang
sesat itu apa? Puisinya karena tanpa judul, penyairnya, atau pembacanya. Ha..ha…ha…ha…
***
Membaca puisi-puisi Imam Ma’aarif, dalam buku antologi
puisi (yang tidak bertajuk ini). bagi saya, sungguh membingungkan. Itu sebabnya
saya merasa tak mampu “ngonceki” meski hanya satu puisinya. Apalagi jika harus
memberikan tafsiran judul terhadap salah satunya. Bukan takut ‘tersesat’
seperti yang dikatakan kang Maman. Melainkan saya membutuhkan renungan waktu
yang lama untuk bisa memahaminya.
Saya baru ngeuh, ketika isteri saya menyetel lagu-lagu ebiet g. ade terdengar
syairnya yang demikian:
Lama… aku pelajari satu puisi
Sayang… jika hanya angin yang mengerti
(Ebiet G. Ade dalam lagu yang berjudul “Untukmu Kekasih”)
Ah, barangkali Ebiet mengada-ada atau justru benar. Untuk
mempelajari satu puisi (tanpa judul yang ditulis oleh penyair Imam Ma’arif)
butuh waktu yang lama. Meski (seperti kata suami Yayuk Sugianto ini) hanya angin
yang mengerti. . Tapi, terus terang, saya bisa menikmati. Seperti pertama kali
saya mengenal penyair ini secara fisik pada tahun 2011 pada acara Jilfest ke 2,
yang kala itu ia membaca puisi dengan telanjang …….dada, di pasar seni, Ancol. Sungguh memukau. Demikian pula
puisi-puisinya yang tanpa judul di buku antologi ini. Itu saja.!**** Humam S. Chudori, novelis dan
pengasuh surauhumamschudori di kanal youtube nibukantv, tinggal di Tangerang.
Humam S. Chudori (dok Pribadi)