Saturday, May 11, 2024

antologi cerpen “PENDIDIKAN AKAR BUDAYA BANGSA”

 

KATA PENGANTAR  antologi cerpen “PENDIDIKAN AKAR BUDAYA BANGSA” oleh Tuti, S.S,, M.Pd

 

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku antologi cerpen dengan tema Pendidikan. Mengambil tema tersebut? Karena antologi cerpen “Pendidikan Akar Budaya Bangsa,” dimaksudkan untuk memperingati hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2  Mei 2024.

 

Karlina Supeli (filsuf dan astronom) mengatakan bahwa fiksi itu sangat penting, karena membuka imajinasi mengajak kita kepada possible word, dunia yang mungkin tidak ada di sini, sehingga imajinasi itu bisa begitu liar mengembara dan Ketika masuk Kembali ke dunia nyata imajinasi itu akan membantu kita memahami dunia yang begitu carut marut

 

Kami ucapkan terimakasih kepada seluruh peserta, sungguh merupakan para pengarang yang kreatif, ianya seperti tukang sihir yang mampu menyulap sesuatu yang tidak ada seperti benar-benar ada. Sesuatu yang khayal menjadi tampak sungguhan. . Tokoh peristiwa, plot, dialog, klimaks, dan anti klimaks yang dipungut dari “udara kosong” menjadi sangat meyakinkan.

 

Akhirnya kami berharap semoga buku antologi cerpen “Pendidikan Akar Budaya Bangsa” ini bermanfaat serta memberikan Pelajaran berharga bagi siapa pun yang membacanya, “Sungguh dalam sebuah kisah terdapat Pelajaran bagi orang-orang yang menggunakan akalnya” kami ucapkan terimakasih kepada seluruh tim Neoma Publisher yang tealah membantu sehingga buku antologi ini bisa diterbitkan.

 

Tuti, S.S. M.Pd.

Antologi ini memuat 35 cerpen dan ditulis oleh sejumlah cerpenis antara lain. Humam S. Chudori, Tuti Kusen, Vit, Ea Anggraeni Chalista, J. Siti Aminah, Fajar Buana, Alicia Joanna Charlote B, Monica Josephine SuryaCeli, Jemina A.R.Tambunan, Rafalella Dayakng E, Johanes A.J,  Rafael Gunung A.  Elvy Mardani, Adrian Theodor Mangaraja, Jeslyn carolin, Rendi Setiawan, Vanessa AzALia, Felicia Davine, Fidelia Carissa Anjani, Katelyn Gabriel Ramadhani Kwok,  Inesty Anggreeni, Levina Jaya, Blanca Victoria Rajaguguk, Klara Putri Oktavia siagian, Gladys Putri Handly, Y, Purwo Aribowo, David Ferdinand Limbong, Olivia Lidwina, Rahel Agnes, Gabriella Valdwyn Sinambela, Ratu Masrana, Riris Monica, Asri Assundawi, Queen Stefanie, Indah Rahmita sari, dan Fanni Hafisyah Safitri.

Buku antologi ini diiterbitkan oleh Neoma Publisher ***(sw)




Thursday, June 29, 2023

antologi puisi "Membaca Lembarang Langit Menghidupi Bumi", catatan keseharian para penulisnya

 

Buku antologi puisi “Membaca Lembaran Langit Menghidupi Bumi.”

·     *    Catatan keseharian para penulisnya

             Barangkali masyarakat kita dewasa ini mulai menyadari arti pentingnya menulis. Bahwa sebuah tulisan – apa pun bentuknya – akan membuat seseorang akan menjadi ‘abadi’. Tak akan lenyap ditelan oleh waktu.

Seperti pernah dikatakan oleh seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Tour, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Tak heran bila akhir-akhir ini banyak yang berusaha mengabadikan tulisannya dalam sebuah buku. Dan, buku yang paling banyak dihasilkan adalah kumpulan puisi. Kalau pun tulisan dalam bentuk puisi yang berhasil ditulis hanya satu atau dua, misalnya. Orang tak akan kehabisan cara untuk mengabadikan tulisan tersebut dalam sebuah buku cetak. Tentu saja, tak mungkin sebuah buku hanya memuat satu atau dua puisi. Karena itu, cara yang dilakukan adalah dengan membuat buku kumpulam puisi secara “keroyokan” atau istilah kerennya antologi puisi bersama.

Salah satu buku antologi puisi bersama yang telah terbit adalah buku yang bertajuk “Membaca Lembaran Langit Menghidupi Bumi.” Buku ini berisi 54 puisi yang ditulis oleh 21 penyair. Mereka itu adalah Himmatul Mufidah, Yeni Resalina, Ariewibowo, Tuti Kusen, Panji Sakti, Ratu Masrana, Chrity Wilona PUrba, Aquina Leah Gultom, Darell, Tuslihatinur N, Ariego, Idang Oesoen, Ikrima Maida, S. Lestari, SM. Hasyir Alaydrus, Vania Karen, Ummi Mayadah, Akbar Fauzan, Nida Ankhofiyya, Uswatun Hasanah, dan Saefuddin Famsah.

Yang menarik dari buku ini adalah karena antologi puisi ini tak ada tema khusus, seperti antologi bersama pada umumnya.  Artinya puisi yang ditulis punya beragam tema sehingga penulisnya bebas menuliskan apa saja dalam genre puisi. Dan, tentu saja, sang penulis akan menuliskan sesuatu yang dekat dengan dirinya. Karena itu tak sedikit puisi yang merupakan catatan keseharian penulisnnya.

Pun, penulisnya punya latar belakang berbeda-beda. Ada yang masih sekolah, kuliah, guru, ibu rumah tangga, dosen, dan lain-lain. Demikian juga usia mereka ada yang baru duduk di bangku kelas satu smp hingga ada yang sudah berstatus nenek. Entah bagaimana sang penggagas buku  ini mengumpulkan (puisi) dan menghubungi para penulisnya. Sebab tempat tinggal mereka juga berjauhan. Tidak di daerah yang sama.

Sayangnya buku yang diterbitkan oleh Dandelion Publisher ini tak ada kuratornya. Hingga puisi yang tersajikan ada yang masih terasa ‘mentah’. Apalagi (barangkali) ada yang benar-benar baru menulis dan tulisannya ikut mengisi antologi puisi ini.

Namun, terlepas dari semua kekurangan yang terdapat dalam buku antologi puisi ini. Yang pasti kesadaran literasi – khususnya penulisan sastra bergenre puisi – dalam masyarakat sudah mulai tumbuh.  Paling tidak, antologi  Membaca Lembaran Langit Menghidupi Bumi” yang dibuka dengan prolog oleh PJ. Tuti dan ditutup dengan epilog yang ditulis oleh DR. Kusen – telah  menambah deretan daftar buku sastra di negeri kita tercinta ini. Ia semakin menyemarakkan khasanah dunia perbukuan, khususnya buku sastra.***Humam S. Chudori, novelis, tinggal di Tangerang Selatan.

 

 

             

 

Friday, December 2, 2022

puisi Humam S. Chudori : TUHAN AJARI AKU BERSABAR AGAR ENGKAU CINTA AKU AGAR AKU BERSAMA ENGKAU

 

TUHAN AJARI AKU BERSABAR

AGAR ENGKAU CINTA AKU

AGAR AKU BERSAMA ENGKAU *)

 

 

ku ingin setiap saat bersama-Mu

ku mau setiap waktu disayangi-Mu

tapi tak pernah cukup modalku

bukan tak mendirikan sholat aku

bukan tak menjalankan puasa aku

bukan tak mengeluarkan zakat aku

sebab,

Kau tak pernah nyatakan

: Aku bersama orang yang rajin sholat

  Aku mencintai orang yang gemar puasa

  Aku menyayangi orang yang sering berzakat

 

sementara bukan sekali Kau tegaskan

: Aku bersama orang yang sabar

  Aku mencintai orang yang sabar

 

sudah kulatih dengan sholat

sudah kuasah dengan puasa

sudah kugembleng dengan zakat

tapi, kesabaran tak pernah kudapat

 

adakah yang salah dengan ibadah hamba

mungkin ujub, sum’ah, atau riya

tapi tak mampu aku membacanya

kesabaranku tak lebih dari keterpaksaan

bukan kesabaran yang diilhami kesadaran

 

Tuhan, ajari aku bersabar

sabar bukan ketika menerima musibah

tetapi juga ketika Kau datangkan anugerah

 

Tuhan, ajari aku bersabar

sabar yang membuat-Mu tersenyum

lalu Kamu mau mencintaiku

 

Tuhan, ajari aku bersabar

sabar yang membahagiakan-Mu

lalu Kamu mau bersamaku

 

Tuhan, ajari aku bersabar

menerima apa pun keputusan-Mu

menjalani peran yang Kau tentukan

agar kesabaran yang kumiliki

bukan kesabaran nisbi

tetapi,

kesabaran nan indah

yang membuat hidup cerah

tanpa resah, gelisah, dan diterpa gundah

meski diri ini ada potensi keluh kesah **)

 

*)puisi ini diilhami firman-Nya Wallahu yuhibush shobirin dan wallahu ma’ash shobirin

**) Q.S. 70/ Al Maarij : 19 – innal insana khuliqo haluu’an

  

(Seratus Puisi Qurani 2016)






Tuesday, November 22, 2022

ANTOLOGI PUISI IMAM MA'ARIF

 

Antologi Puisi Imam Ma’arif

Memukau Tapi Bisa Menyesatkan



            Nekad? Boleh jadi demikian. Atau barangkali kebingungan seorang penulis puisi. Ya, pertanyaan ini muncul ketika untuk kali yang pertama saya mendapat buku antologi puisi – karya penyair Imam Ma’arif. Betapa tidak, antologi puisi ini berisi puluhan puisi namun tak satu pun yang diberi judul. Bahkan sekedar judul angka, misalnya, tak ada sama sekali. Ini artinya untuk bisa membaca sebuah puisinya pun kita hanya dipandu dengan halaman. Puisi yang terdapat di halaman sekian, umpamanya.

            Namun, hal yang demikian tidaklah sesederhana itu. Betapa tidak, ketika saya membaca epilog yang ditulis oleh Maman S. Mahayana yang mengulas puisi-puisi dalam buku ini. hanya ada satu yang cocok halamannya. Yakni yang membahas puisi pada halaman 2. Yang lainnya? Tak ada yang tepat. Misalnya disebutkan pada puisi halaman 15 (tetapi setelah dicermati ternyata puisi yang dimaksud ada pada halaman 16). Demikian pula dalam mengulas puisi pada halaman 46, namun disebutkan pada halaman 44. Lalu dikatakan puisi yang terdapat pada halaman 3 atau 43. Nyatanya puisi itu tak ada di halaman tersebut melainkan terdapat pada halaman 45.

            Mengapa Imam Ma’arif tidak memberi judul pada setiap puisi yang ada di buku ini? Ia beralasan bahwa peniadaan judul akan memberi peluang imajinasi dan peluang tafsir yang lebih luas kepada pembaca.

            Agaknya penyair ini lupa bahwa setiap puisi yang sudah menjadi “milik” publik masih tetap memberi peluang multi tafsir dan memberi peluang imajinasi kepada pembaca. Sebuah puisi, kendati ada judulnya, tetap mendapat peluang yang sama – peluang imajinasi juga peluang tafsir – dari pembacanya. Malahan jika sebuah puisi yang berjudul akan lebih mendapatkan kesempatan untuk didiskusikan. Kenapa demikian? Karena pembaca sudah digiring untuk membicarakan puisi yang berjudul “anu” karya penyair fulan, misalnya.

            Sebab, diakui atau tidak, sebuah judul puisi – apalagi judul yang pendek dan tidak  khas – bisa digunakan oleh beberapa penyair. Sebutlah misalnya, judul puisi “Cinta”, bisa ditulis oleh tidak cuma satu dua orang penyair. Nah, dengan adanya judul dan (tentu saja) nama sang penyair sebuah puisi akan lebih berkemungkinan didiskusikan oleh publik pembacanya. Dan, masih memberi kemungkinan, menjadi multi tafsir.

            Dalam kata pengantarnya, Imam Ma’arif memberikan tekanan “puisi hendaknya dibiarkan bebas tanpa judul dan terbuka seperti hutan belantara. Sehingga keliaran dan misteri keindahannya menjadi tantangan sendiri untuk dijelajah.”

            Sayang, menurut saya pengibaratan semacam ini kurang tepat. Sebab yang namanya hutan belantara pun tetap punya judul (baca: nama). Benar, memang. Hutan belantara punya misteri keindahan dan tantangan untuk dijelajah. Namun, bukan berarti hutan belantara itu tanpa ada nama. Bukankah tantangan setiap misteri yang terdapat dalam hutan belantara yang satu dengan yang lain akan berbeda. Artinya jika ada yang hendak dijadikan pembicaraan maka nama hutan pun akan tetap disebutkan. Jika tidak, maka akan terjadi penyesatan. Misalnya, jika disebutkan sebuah hutan belantara yang masih terdapat banyak gajah. Tak mungkin ia adalah hutan belantara yang ada di pulau Jawa. Hutan belantara yang masih dihuni bekantan, dapat dipastikan, ada di Kalimantan. Burung Mambruk, hanya akan ditemukan di hutan papua.

Nah, jika puisi tanpa judul (apalagi dalam sebuah antologi) akan terlalu sulit untuk dibahas dalam sebuah forum diskusi Ini hanya salah satu contoh – masalah hewan yang ada di hutan belantara pun – akan sulit untuk dibahas jika tak jelas keberadaan ‘nama’ (atau lokasi) hutan belantara tersebut. Jika tidak, maka pembahasan tentang sebuah hutan belantara hanya akan jadi ‘debat kusir’ belaka. Apalagi untuk sebuah puisi yang terdapat dalam sebuah buku antologi puisi. Ini yang membuat saya (juga mungkin pembaca lain) bingung membahasnya. Belum lagi jika puisi  tersebut hanya membuat satu kata. Suara, misalnya, pada halaman 41 dalam buku ini.puisi dengan titimangsa, Jakarta Agustus 2022.

Boleh jadi sebuah puisi hanya dengan satu kalimat. Tetapi, bila berjudul akan menjadi lain tafsirannya. Sebutlah puisi Sutardji yang berjudul LUKA, yang terdiri dari dua suku kata ha…ha… atau Malam Lebaran yang ditulis Sitor Situmorang yang terdiri dari satu kalimat pendek “bulan di atas kuburan”.

Ada hal lain yang cukup membuat kita “sulit” memahami puisi-puisi di buku Imam Ma’arif ini. Bagaimana memahami apakah puisi sudah ‘tuntas’ dengan ditandai titimangsa atau tidak. sebab jika ditandai dengan titimangsa berarti puisi pada halaman 17 merupakan lanjutan dari puisi halaman 16. Tapi isinya kok tidak ‘nyambung’ dan kenapa puisi pada halaman 16, tidak ada titimangsanya. Ini hanya salah satu misal.

***

Apabila Sutarji Calzoum Bachri ingin membebaskan kata dalam pengertian ide atau beban makna yang telah disepakati masyarakat umum. “Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka. Seperti kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral. Kata yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscence) serta penjajahan gramatika,” demikian SCB dalam  kredo puisinya.

Maka Imam Ma’arif dalam buku ini ingin membebaskan judul pada semua puisinya. Ia beranggapan judul hanyalah sebagai penjara imajinasi, mempersempit imajinasi, bentuk dikte terhadap pembaca, judul juga bisa menjadi tebing penghalang berbagai pemandangan makna, sehingga pembaca sulit melihat makna lain yang berkelindan dalam rimba puisi.

Tentu saja, tulisan ini tidak ingin membandingkan kedua alasan yang disampaikan masing-masing penyair. Jika memang Imam Ma’arif akan berprinsip bahwa ia tak akan mendikte pembaca dengan sebuah judul pada puisi. Tentu saja, ia punya hak melakukannya. Hanya saja, yang ingin digarisbawahi di sini adalah ‘mampukah Imam Ma’arif tetap konsisten dengan prinsipnya’ (baca: tetap menulis puisi tanpa judul). Jika tidak, maka bisa jadi puisi-puisi yang dituliskan akan ‘menyesatkan’ pembaca.

Itulah sebabnya, barangkali Maman S. Mahayana, dalam dalam kata terakhir epilognya menulis “majulah … terus laju. Jangan pernah terbersit sedikit pun pikiran sesat: “Mundur terus pantang maju!” Yang sesat itu apa? Puisinya karena tanpa judul, penyairnya, atau pembacanya. Ha..ha…ha…ha…

***

Membaca puisi-puisi Imam Ma’aarif, dalam buku antologi puisi (yang tidak bertajuk ini). bagi saya, sungguh membingungkan. Itu sebabnya saya merasa tak mampu “ngonceki” meski hanya satu puisinya. Apalagi jika harus memberikan tafsiran judul terhadap salah satunya. Bukan takut ‘tersesat’ seperti yang dikatakan kang Maman. Melainkan saya membutuhkan renungan waktu yang lama untuk bisa memahaminya.  

Saya baru ngeuh, ketika isteri saya  menyetel lagu-lagu ebiet g. ade terdengar syairnya yang demikian:

Lama… aku pelajari satu puisi

Sayang… jika hanya angin yang mengerti

(Ebiet G. Ade dalam lagu yang berjudul “Untukmu Kekasih”)

Ah, barangkali Ebiet mengada-ada atau justru benar. Untuk mempelajari satu puisi (tanpa judul yang ditulis oleh penyair Imam Ma’arif) butuh waktu yang lama. Meski (seperti kata suami Yayuk Sugianto ini) hanya angin yang mengerti. . Tapi, terus terang, saya bisa menikmati. Seperti pertama kali saya mengenal penyair ini secara fisik pada tahun 2011 pada acara Jilfest ke 2, yang kala itu ia membaca puisi dengan telanjang …….dada, di pasar seni, Ancol. Sungguh memukau. Demikian pula puisi-puisinya yang tanpa judul di buku antologi ini. Itu saja.!**** Humam S. Chudori, novelis dan pengasuh surauhumamschudori di kanal youtube nibukantv, tinggal di Tangerang.



                                                                   Humam S. Chudori (dok Pribadi)


 

 

Saturday, April 23, 2022

Humam S. Chudori: tentang Ghibah

Ada seorang perempuan, tetangga saya, yang serba naudzubillah. Baik omongannnya, kelakuannya, sikapnya yang suka menghina atau melecehkan orang lain, merasa paling hebat. Wah! Pokoknya benar-benar sering membuat orang lain yang sudah mengenalnya  merasa pernah tersakiti hatinya.

Perempuan itu, memang, gampang akrab dengan siapa saja. Tetapi, setelah demikian akrab ia akan kepo luar biasa. Mengorek apa saja dari orang yang sudah dikenalnya. Mulai dari pekerjaannya, tentang  hubungannya dengan suami, tentang penghasilannya, tentang anak-anak dan apa saja (dicari-cari sesuatu yang akan bisa dijadikan bahan gunjingan jika yang bersangkutan bercakap-cakap dengan orang lain lagi). dan, bahan perbincangan itu selalu saja yang sifatnya negatif. Tampaknya jika sesuatu yang dijadikan bahan omongan menjadi “trending topik” ia akan bahagia. Karena telah berhasil ‘memprovokasi’ banyak orang (bukan hanya emak-emak, melainkan juga para bapak).

 

Tanpa sadar, akhirnya orang  tersebut justru menjadi bahan gunjingan orang-orang. Ya, perempuan itu banyak yang menjulukinya sebagai “perempuan provokator”. Arkian ia yang dijadikan bahan gossip (para tetangga) karena sikap laku dan omongannya yang sering membuat orang lain tersakiti.

 

Sang suami, rupa-rupanya tahu tabiat isterinya yang tak terpuji itu. Sebagai seorang suami, ia mencoba mengingatkan ‘perempuan provokator’ tersebut. Agar memperbaiki kebiasaannya yang kurang baik tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia setelah isterinya memberi jawaban, “Biarkan saja saya dijelek-jeleki, dighibahi orang lain. Makin banyak yang berbuat ghibah terhadap saya. Saya bersyukur, berarti dosa saya banyak yang menanggung.”

 

Apa yang dialami sang suami, ketika menasehati isterinya, pernah diceritakan kepada saya. Dan, ia pun bertanya, “Betulkah jawaban isterinya, kalau dosa sang isteri akan berkurang karena dijadikan bahan perbincangan – atas kelakuannya yang tak terpuji itu – orang lain. Para tetangga,”

 

Memang. Ada larangan untuk berghibah (membicarakan keburukan orang lain). Karena berghibah bisa diibarakan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri.

 

Tetapi, perlu digaribawahi di sini, bahwa orang yang akhirnya membicarakan keburukan “perempuan provokator” itu karena terpancing oleh sikap dan kelakuannya. Bukan muncul begitu saja. Artinya tak mungkin ada asap jika tak ada api.

 

***

 

Setelah mendengar curhatan sang suami dari “perempuan provokator,”  (karena yakin merasa dosanya akan dipikul oleh orang yang menggunjingnya) saya jadi bertanya-tanya, apakah mungkin di kalangan kaum elite punya keyakinan yang sama – dosanya akan ditanggung oleh orang yang membicarakan kelakuan (jelek) nya. Omongannya yang menyakitkan. Atau sikapnya yang membuat orang lain (baca: rakyat) sengsara dan tersakiti.

 

Entah bagaimana pemahaman ghibah yang sesungguhnya. Padahal munculnya ghibah karena ‘dipancing’ oleh si pelaku, agar orang lain membicarakan keburukannya (baca: menggibah). Apakah ini juga yang diyakini oleh para buzerrp, mereka sengaja membuat kekonyolan dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial (baca: meresahkan masyarakat) atau bersikap yang dapat menimbulkan kebencian. Yang secara otomatis sikap mereka itu akan menjadi ‘bahan ghibah’ masyarakat. Atau seorang koruptor dengan perbuatannya, dan ia jadi “bahan ghibah” karena kelakuannya tersebut. Lalu merasa dosanya ditanggung oleh banyak orang (karena menggibahi dirinya).

 

Jika memang demikian, tidak heran banyak kalangan elite  melakukan kekonyolan-kekonyolan dalam pernyataan yang dilontarkan, misalnya, masak tak harus digoreng, emang tak ada kesibukan lain selain antri minyak goreng, beli baju lebaran bisa tapi masih antri minyak goreng, boleh buka bersama tapi tak boleh ngobrol, boleh silaturahmi lebaran tapi gak boleh makan dan minum, yo ndak tahu kok tanya saya, dan sederet pernyataan konyol – yang secara tidak langsung – menunjukkan kedunguan. Lalu, apabila masyarakat bilang mereka dungu, misalnya, maka masyarakat akan dianggap menggibah, Lalu dosa mereka akan ditanggung masyarakat?

 

Sudah saatnya ulama menjelaskan  tentang masalah ghibah ini secara benar. jangan sampai pemikiran seperti “perempuan provokator’ (tetangga saya) itu mewabah di kalangan elite. Bagaimana pun juga, diakui atau tidak, munculnya ghibah – pada umumnya – karena si objek melakukan tindakan konyol yang diulang-ulang atau melontarkan kalimat-kalimat yang menyakiti pihak lain dan berkali-kali. Jika tidak, saya tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Sebab mereka akan terus melakukan kekonyolan – baik dalam membuat aturan maupun melontarkan pernyataan. Dan ini, tentu saja, akan tidak membuat sebuah negeri tidak baik-baik saja.!***Humam S. Chudori, sastrawan dan penulis lepas.

 

 

Thursday, April 21, 2022

Humam S. Chudori. Menghargai "Kerja Keras" teman

 

 MENGHARGAI "KERJA KERAS"  TEMAN

 

Masih juga ada tiga kawan saya – ketiganya hobi baca buku juga punya perpustakaan di rumahnya. Mereka bukan penulis.. Namun, mereka sulit mengeluarkan uang guna membeli buku jika ditulis oleh orang yang dikenalnya. Padahal secara ekonomi mereka tergolong mampu. Punya gaji tetap karena memang mereka punya jabatan di tempat  kerjanya. Mereka berlainan kantor juga tempat tinggal.

Jika buku saya diterbitkan, biasanya, saya akan membelinya (jika saya ada dana, tentunya) ke penerbit beberapa eksemplar untuk saya jual sendiri. Di samping ingin mendapatkan other income (karena kalau beli ke penerbit saya akan mendapat diskon – sebagai penulis) sekaligus ‘membantu’ penerbit memasarkan buku. Menunggu hasil penjualan dari toko buku, acapkali mengecewakan. Kadang display buku tidak ditempatkan pada rak yang tepat. Pernah terjadi, misalnya, novel saya yang bercerita tentang guru ngaji ditempatkan di rak “buku Fiqih“. Sudah itu posisi peletakannya miring. Tidak terlihat covernya. Jika calon pembeli tidak mencermati tulisan yang ada di sisi samping, tentu saja, tak akan pernah tahu judul buku dan siapa penulisnya. Sehingga membuat calon pembeli tak menemukan buku yang saya tulis.

Dulu, hampir setiap saya ada buku baru, mereka selalu saya kabari. Bahkan saya tawarkan ke mereka (untuk dibeli, tentunya) dan membawanya. Jika buku sudah ada di tangannya. Mereka akan langsung menyobek plastiknya.

Apabila sudah demikian, saya tak bisa berbuat apa-apa. Paling-paling saya hanya mengatakan bahwa buku itu saya peroleh dari penerbit bukan gratis. Melainkan saya membelinya dengan harga penulis.

“Masa saya harus membeli sama sahabat sendiri. Kamu bukan orang lain, tapi sobat saya. Jika saya beli berarti kamu orang lain dong,” demikian kira-kira kalimat yang mereka sampaikan.

Entah kenapa apabila mendapat pernyataan ini, saya tak bisa berbuat sesuatu. Untuk membawa buku itu lagi juga tak mungkin. Sebab sudah tidak dalam plastik lagi. minta dibayar juga saya seperti tak mampu. (apakah ini pengaruh dari “mengajar ngaji” anak-anak – yang serba lillahi taala. Sebab jika ada anak tak memberi ujroh saya tak penah punya ‘keberanian’ menagih hak saya).

Setelah lebih dari satu kali mereka “memperlakukan” saya seperti itu. Ya, mau tak mau, andai pun mereka bertandang ke rumah (dan misalnya saya ada buku baru) tak pernah saya kabari mereka. Apalagi mau memperlihatkan hasil jerih payah saya yang baru.

***

Sebagai penulis fiksi, saya merasa tersanjung jika tulisan saya dibaca orang. Bahkan merasa bahagia jika yang membaca bisa mendapatkan “sesuatu” dari tulisan saya. Itulah sebabnya tak jarang saya akan dengan senang hati (kepada orang-orang tertentu, misalnya) memberikan buku yang saya tulis secara cuma-cuma.

Mungkin karena hal ini pernah saya ceritakan kepada tiga orang (tidak elok saya menyebut namanya) di atas. Mereka menganggap penulis suka membagi-bagikan (gratis) kepada orang yang dikenalnya. Padahal mereka tahu saya tak punya pekerjaan selain menulis. Ini artinya mereka tahu kalau saya tak punya gaji.

***

Saya agak terhibur dan menemukan jalan keluar ketika nonton youtube Sujiwo Tedjo. Dengan tagar harga teman. Budayawan itu bilang begini “HARGA TEMAN ITU SEBETULNYA BUKAN MAKIN MURAH, HARGA TEMAN ITU HARUSNYA MAKIN MAHAL. MAKIN MAHAL ARTINYA MAKIN MENDUKUNG. KALAU KAU JUALAN MARTABAK, MISALNYA, TERUS KAU TEMANKU, TERUS KAU BILANG KE AKU HARGANYA 100. KARENA HARGA TEMAN, AKU KASIH 15O. ITU ARTINYA AKU MENDUKUNG. BAYANGKAN KALAU SELURUH PUBLIK RI SEPERTI ITU, HARGA TEMAN MAKIN MENDUKUNG.

Usai menonton tayangan ini, saya mikir. Benar juga pendapat budayawan ini. Apalagi seperti yang saya ceritakan di atas, teman-teman saya itu punya penghasilan yang lumayan. Ekonomi mereka lebih mapan dari saya. Tapi, selalu berkilah ‘masa harus beli sama sobat sendiri’ .  Seolah-olah menulis buku dianggap tak mengeluarkan sesuatu. Karena tanpa “modal materi” seperti orang berjualan barang. Padahal untuk menulis justru harus punya modal “besar” (banyak belajar, harus beli buku, dan banyak waktu yang dihabiskan untuk menulis). Karena mengarang bukan hanya sekedar menuliskan huruf demi huruf atau menjejerkan kata demi kata.

Setelah menonton tayangan youtube Sujiwo Tejo, semoga saya diberi kemampuan bicara seperti budayawan itu kepada teman-teman di atas. Tidak merasa risi atau sungkan untuk mengatakan seperti beliau. Syukur mereka ikut melihat tayangan budaywan itu, dan diberi kesadaran bahwa penghasilan seorang pengarang diperoleh dari hasil penjualan buku. Dan, menerbitkan buku bukan sekedar ingin “dikenal” sebagai pengarang. Atau ingin meninggalkan “sesuatu” sebelum meninggalkan dunia yang fana ini. Sehingga namanya akan ‘dikenang’ karena sudah menulis buku.

Memang, ada yang menulis buku karena ingin “bersedekah”. Melalui buku yang ditulisnya ia ingin membagikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sekaligus (tentu saja) buku fisiknya. Buku-buku itu akan dibagikan secara gratis (bukan hanya kepada orang-orang tertentu dan terbatas jumlahnya) kepada yang dikenalnya. Namun, penulis seperti ini – tentunya – yang ekonominya sudah sangat mapan. Punya other income di luar menulis. Dan ini, sah-sah saja.

Tetapi, Alhamdulillah,  ada yang telah memahami seperti apa yang dikatakan oleh Sujiwo Tejo. Ya, saya masih punya teman yang bisa menghargai jerih payah seorang penulis fiksi. Teman yang tak sekedar mengganti “biaya cetak’ buku. Melainkan ada sedikit lebih sebagai ‘pengganti keringat’ saya sebagai penulis buku. Yang ini, biasanya, orang yang benar-benar mampu memahami ‘jerih payah’ kawan. Meski, barangkali, tak pernah menonton tayangan youtube Sujiwo Tejo.

Mudah-mudahan curhatan ini dapat mewakili curhatan teman-teman yang hidup “tergantung” dari menulis. Termasuk menulis buku.*** Humam S. Chudori, sastrawan, tinggal di Tangerang Selatan.